Kehidupan budaya di Jerman mempunyai banyak segi. Terdapat sekitar
300 teater tetap dan 130 orkes profesional antara Flensburg di utara dan
Garmisch di se latan. 630 museum seni rupa dengan koleksi serbaneka yang
bertaraf tinggi menurut ukuran internasional membentuk jaringan museum yang
unik. Seni lukis muda juga sangat hidup di Jerman dan telah mendapat tempat di
dunia internasional. Dengan sekitar 94.000 judul buku baru yang diterbitkan
atau dicetak ulang tiap tahun, Jerman juga tergolong negara perbukuan yang
besar. 350 judul surat kabar harian dan ribuan judul majalah membuktikan
perkembangan dunia media yang baik. Sukses baru juga tercatat oleh produksi
film – tidak hanya di bioskop Jerman, melainkan di berbagai negara di dunia.
Bahasa Jerman tergolong ke-15 bahasa Germanika, suatu rumpun
dalam kelompok bahasa Indogermanika. Bahasa Jerman merupakan bahasa ibu yang
paling banyak penuturnya dalam Uni Eropa (UE) dan termasuk kesepuluh bahasa
yang paling banyak dipakai di dunia: Sekitar 120 juta orang memakainya sebagai
bahasa ibu. Sesudah bahasa Inggris, bahasa Jerman menempati posisi kedua
sebagai bahasa asing di Eropa. Dewasa ini terdapat kurang lebih 17 juta orang
di segala penjuru dunia yang belajar bahasa Jerman di institusi atau di
sekolah. Kementerian Luar Negeri mendukung pengajaran bahasa Jerman di
mancanegara, yang diserahkan kepada organisasi perantara: Goethe-Institut
menawarkan kursus bahasa Jerman di 127 kota di 80 negara. Atas tugas Deutscher
Akademischer Austausch dienst (DAAD) ditempatkan 440 dosen pada perguruan
tinggi di 102 negara. Badan pusat untuk perguruan di luar negeri (ZfA) mengurus
135 Sekolah Jerman dan sekitar 1.900 guru Jerman yang mengajar di mancanegara.
Usaha untuk memantapkan kedudukan bahasa Jerman sebagai bahasa asing di luar
negeri dilancarkan oleh Kementerian Luar Negeri melalui proyek “Sekolah: Mitra
Masa Depan” (PASCH). Tujuannya menciptakan jaringan yang terdiri dari 1.500
sekolah mitra.
Negara pujangga dan pemikir. Goethe orang Jerman, begitu pula Bach dan
Beethoven. Walau begitu tidak tampak adanya kompetensi kultural pada Jerman
sebagai nasion berbudaya. Kebudayaan adalah urusan negara bagian, begitulah
ketetapan dalam konstitusi. Mengapa urusan kebudayaan di Jerman merupakan hal
yang tidak dapat atau tidak perlu ditangani oleh seluruh bangsa? Sejak era
Kaisar Wilhelm pada akhir abad ke-19, kebudayaan Jerman sebagai ungkapan nasion
Jerman sudah dicurigai sebagai keangkuhan. Musibah nasionalsosialisme kemudian
mencetuskan orientasi baru yang dilaksanakan secara konsekuen. Seusai Perang
Dunia II, orang menyadari bahwa Jerman hanya dapat kembali ke komunitas bangsa
sedunia apabila dihindarinya kesan adanya semangat budaya nasional yang berlebihan.
Dengan mempertimbangkan hal itu juga, pada saat pendirian Republik Federal
Jerman tahun 1949 orang mengingat tradisi federalistis dan menyerahkan
kewenangan budaya kepada negara bagian. Baru sejak tahun 1999 terdapat menteri
negara kebudayaan dan media pada Kekanseliran Federal. Sejak waktu itu ada satu
dan lain urusan budaya yang kembali diang gap sebagai hal yang menyangkut
seluruh bangsa. Bantuan untuk perfilman diatur kembali pada tingkat
federal, Yayasan Budaya Federal pun didirikan. Berlin kian berkembang menjadi magnet bagi kelas
kreatif dan tempat bercampur-baurnya aneka kebudayaan. Museum-museumnya
mencerminkan seluruh sejarah umat manusia. Memorial Holocaust menguji
kesanggupan bangsa Jerman untuk menghadapi sejarahnya. Secara mengesankan dibuktikannya
bahwa politik ke budayaan nasional telah menjadi kebutuhan pada abad ke-21. Di
lain pihak, federalisme kebudayaan membangkitkan ambisi negara bagian. Politik
kebudayaan memajukan lingkungan setempat. Contohnya daerah Ruhrgebiet di negara
bagian Nord rhein-Westfalen, yang dahulu dihuni oleh buruh tambang dan buruh
pabrik baja. Sejak bertahun-tahun Ruhrgebiet mengubah wajahnya menjadi daerah
budaya. Sebagai “Ibu Kota Budaya Eropa Ruhr 2010” diperlihatkannya, bagaimana
lingkungan kreatif dapat membuka jalan ke masa depan.
A. SASTRA

Jerman negara buku: Dengan hampir 95.000 judul buku baru dan
cetakan ulang per tahun, Jerman termasuk negara besar penghasil buku di
dunia. Pekan Raya Buku
Internasional Frankfurt yang diselenggarakan setiap bulan Oktober tetap menjadi
ajang pertemuan terbesar bagi penerbit internasional. Di samping itu Pekan Raya
Buku lebih kecil yang dilaksanakan pada musim semi di Leipzig telah menjadi
tenar sebagai pesta pembaca. Sejak reunifikasi Berlin menempatkan diri sebagai
pusat sastra dan kota penerbit internasional (antara lain Suhrkamp-Verlag,
Aufbau Verlag) yang menghasilkan sastra metropolitan yang memikat, yaitu sastra
yang tidak ada lagi di Jerman sejak berakhirnya Republik Weimar. Tak ada orang
yang dapat memastikan bahwa buku-buku yang dibeli memang dibaca juga. Akan
tetapi kegemaran membaca memang tidak berkurang, di zaman internet sekalipun.
Publik berjubel untuk menghadiri festival seperti LitCologne di Köln,
Poetenfest di Erlangen dan sejumlah festival lain. Biar begitu hanya sejumlah
kecil pengarang yang karyanya mencapai tiras jutaan eksemplar di pasaran buku
Jerman. Pada dasawarsa pertama abad ke-21, nama pengarang yang meraih sukses di
dunia internasional menempati urutan pertama di daftar “bestseller”. Termasuk
di antaranya Joanne K. Rowling, Dan Brown, Ken Follet dan Cornelia Funke,
penulis buku anak-anak Jerman. Hanya satu dua di antara buku yang teksnya
bernilai sastra berhasil menempati peringkat utama. Termasuk di antaranya, di
samping buku laris karya Daniel Kehlmann “Die Vermessung der Welt” (Pengukuran
Bumi - 2006), roman karangan Charlotte Roche “Feuchtgebiete” (Daerah Lembap -
2008) yang menimbulkan diskusi mengenai seksualitas dan citra peran perempuan.
Terungkap oleh diskusi yang ramai itu, bahwa sastra tetap dapat membahas tema
yang relevan bagi masyarakat umum, walaupun sifat temanya pribadi dan kurang
berbau politik.
Sejak dilembagakannya Deutscher Buchpreis (Hadiah Perbukuan
Jerman) untuk novel terbaik pada tahun 2005, yang mencontohkan Booker Prize di
Inggris atau Prix Goncourt di Perancis, diperoleh sukses juga dalam memasarkan
sastra bermutu di kalangan luas. Selain hadiah uang, pemenang Deutscher
Buchpreis memperoleh juga tiras tinggi untuk karyanya serta perhatian media.
Kisah keluarga karangan Julia Franck “Die Mittagsfrau” (Sang Perempuan Tengah
Hari - 2007), epos mengenai keruntuhan RDJ setebal hampir seribu halaman
tulisan Uwe Tellkamp “Der Turm” (Menara - 2008) dan roman berciri autobiografi
oleh Kathrin Schmidt “Du stirbst nicht” (Kau Tak Akan Mati – 2009) termuat di
daftar buku laris selama berbulan-bulan. Walaupun beberapa sastrawan terkemuka
dari masa pascaperang masih tetap berkarya, seperti penerima Hadiah Nobel untuk
Sastra Günter Grass, dan juga Martin Walser, Hans Magnus Enzensberger dan
Siegfried Lenz, namun buku baru mereka kurang memberi impuls dari segi bentuk
bahasa. Setelah masa pascaperang dengan karya yang kaya akan inovasi estetis,
dan sastra tahun 1970-an yang ditandai oleh analisis sosial serta oleh
eksperimen kebahasaan dan bentuk, sekitar pergantian milenium dapat kita lihat
gerakan kembali kepada bentuk cerita tradisional, kepada kisah yang diceritakan
dengan kesederhanaan yang halus (Judith Hermann, Karen Duve). Di samping hasil
seni bercerita muncul karya yang bereksperimen dengan bentuk (Katharina
Hacker), tulisan para penyeberang batasan budaya yang bermain dengan
aneka bentuk sastra (Feridun Zaimoglu, Ilija Trojanow), atau kekuatan
ekspresi yang tidak tersentuh oleh mode apapun dari Herta Müller asal Rumania.
Setelah dianugerahi Hadiah Nobel untuk Sastra 2009, karyanya diperhatikan juga
di luar kalangan pencinta sastra.
Pada waktu yang sama batas yang dahulu ditarik antara sastra
tinggi dan buku fiksi bersifat hiburan semakin kabur. Pada pengarang muda dan
setengah baya jarang ditemukan sikap bercampur tangan dalam urusan politik atau
moral. Namun dalam apa yang kelihatan seperti gerak mundur ke dalam urusan
pribadi justru dibahas tema-tema yang sejak dahulu kala diutamakan oleh sastra:
Bagaimana cara perorangan menghadapi tuntutan dan tantangan oleh masyarakat?
Bagaimana dampak keadaan ekonomi yang mendominasi dunia bagi individu? Dilihat
dari sudut ini, hal pribadi dalam sastra kontemporer tak terlepas dari urusan
politik juga.
B. TEATER

Di mancanegara dunia teater Jerman tidak jarang dicap sebagai
ribut dan dilanda narsisme. Akan tetapi di belakangnya terdapat sistem yang
sering dikagumi. Kota madya pun memiliki gedung pertunjukan untuk ketiga jenis
seni panggung (sandiwara, opera, balet) yang menarik dari segi artistik.
Sebagian besar di antaranya tergolong tipe teater repertoar, berarti daftar
pertunjukannya mencakup beberapa karya pentas yang biasanya dibawakan oleh
ansambel tetap. Secara keseluruhan terbentuk semacam panorama teater, sebuah
jaringan rapat yang terdiri dari teater milik negara bagian dan kota, teater
keliling dan teater swasta. Sumbangan masyarakat Jerman bagi teater cukup
besar: bentuknya gagasan, perhatian dan subsidi. Banyak orang menganggap
panggung-panggung sebagai hal mewah, mengi ngat pendapatan teater dari karcis
masuk pada umumnya hanya mencapai sepuluh atau lima belas persen dari
pengeluarannya. Akan tetapi sistem subsidi telah melewati titik kulminasi dalam
perkembangannya dan sedang berada dalam tahap yang sulit, karena seni suka
diukur dengan prasyarat materinya.
Peter Stein, tokoh unik dalam teater Jerman, adalah “sutradara
kelas dunia” yang berbeda dari pengarah pementasan lain dengan menciptakan
karya yang dapat dikenali melalui kontinuitas pengulangan motif, tema dan
pengarang. Gaya penyutradaraannya mengutamakan teks. Antara angkatan seniman
yang berteater sekarang dan tokoh seperti Peter Stein, Claus Peymann, direktur
artistik Berliner Ensemble, atau Peter Zadek († 2009) terbentang jarak yang
jauh. Perbendaharaan kata yang dipakai generasi mereka itu tidak cocok lagi
untuk teater kontemporer. Pengertian seperti mencerahkan, mengajari,
menelanjangi atau bercampur tangan berkesan usang. Penonton pun tak dapat dikagetkan
lagi, provokasi di atas panggung biasanya berlalu tanpa sahutan dan sering
tidak lebih daripada serangan terhadap klise usang yang dilancarkan dengan
rutinitas. Teater angkatan
muda tidak lagi mau menjadi “avant-garde”, melainkan mencari bentuk ekspresi
tersendiri. Berkenaan dengan tren ini jumlah pertunjukan perdana karya dramawan
kontemporer meningkat secara tajam sesudah pergantian abad. Terlepas dari
mutunya yang sangat bervariasi, pementasan tersebut menunjukkan seluruh
kebinekaan bentuk seni pertunjukan; drama tradisional bercampur dengan
pantomim, tari, proyeksi cuplikan film dan musik menjadi paduan yang selalu
baru. Tidak mengherankan kalau pementasan yang gayanya sering terbuka dan
bersifat improvisasi itu umumnya disebut “instalasi dramatis” atau “adaptasi
untuk panggung”.
Frank Castorf, kepala teater Freie Volksbühne Berlin, yang
membiarkan teks sandiwara diutak-atik dan disusun kembali sesukanya menjadi
salah seorang yang diteladani oleh generasi muda sutradara itu. Nama Christoph
Marthaler dan Christoph Schlingensief juga menandai pandangan baru mengenai
seni panggung dan pencarian kemungkinan ekspresi baru yang sesuai dengan
globalisasi kapitalisme dan kehidupan yang didominasi oleh media elektronis.
Michael Thalheimer diang gap sebagai ahli untuk tema yang sulit yang mengupas
perso alan dengan melihat intinya. Armin Petras, Martin Kusej atau René
Pollesch telah menciptakan bentuk pementasan yang meng utamakan gaya: cara
bercerita tradisional dengan berpegang pada teks terasa agak asing bagi mereka.
Terhadap sikap itu selalu diutarakan kritik, kritik yang seolah-olah
membuktikan bahwa dunia teater penuh hidup, biarpun tidak sejiwa.
Teater sanggup
bereksistensi terus meskipun ada penghancur karya drama seperti Frank Castorf,
dan pada waktu yang sama dapat disorakinya interpretasi kesutradaraan teliti
yang mengutamakan kesanggupan para aktor. Kebinekaan yang diperagakan setiap
tahun oleh Pertemuan Teater Berlin
dapat ditafsirkan di satu pihak sebagai ungkapan rasa bingung yang bertambah
kuat, namun di lain pihak sebagai tanggapan de ngan beraneka suara atas
persoalan yang muncul dalam realitas masyarakat yang serba kompleks. Publik
yangberperhatian.
penuh akan memperoleh manfaat dari kebinekaan tersebut yang selalu memberi
kunci baru untuk memahami teks yang seolah-olah sudah dikenal. Terserah apakah
kebinekaan itu membingungkan, menjengkelkan atau menghibur kita, selalu
diciptakannya gambaran baru mengenai hidup kita.
C. MUSIK

Nama baik Jerman sebagai negara musik yang penting tetap terkait
dengan nama penggubah seperti Bach, Beethoven, Brahms, Händel dan Richard
Strauss. Mahasiswa datang dari seluruh dunia untuk belajar di perguruan tinggi
musik, pencinta musik mengunjungi festival-festival – dari Festival Wagner di
Bayreuth sampai Donaueschinger Musik tage untuk musik kontemporer. Di Jerman
terdapat 80 teater musik yang dibiayai oleh dana publik, yang
terkemuka di antaranya gedung opera di Hamburg, Berlin, Dresden dan München
serta di Frankfurt am Main, Stuttgart dan Leipzig. Orkes Fil
harmoni Berlin pimpinan dirigen Inggris terkenal Sir Simon Rattle dianggap
sebagai yang terbaik di antara sekitar 130 orkes di Jerman. Kelompok “Ensemble
Modern” di Frankfurt memajukan produksi musik kontemporer dengan mementaskan
sekitar 70 karya baru per tahun, di antaranya 20 pagelaran perdana. Di samping
dirigen yang dikenal di dunia internasional seperti Kurt Masur atau Christoph
Eschenbach ada pemimpin orkes yang menonjol di generasi lebih muda, yaitu Ingo
Metzmacher dan Christian Thielemann. Penyanyi dan pemain instrumen yang
tergolong paling baik di dunia adalah Waltraud Meier, soprano, Thomas
Quasthoff, bariton, dan pemain klarinet Sabine Meyer. Pemain biola Anne-Sophie
Mutter tampil di muka publik yang sangat besar dan yang tidak selalu menikmati
musik klasik saja. Violinis inilah yang menjadi bintang Jerman di dunia musik.
Sejak pertengahan abad ke-20, perkembangan musik kontemporer di
dunia ikut ditentukan oleh pelopor-pelopor musik elektronis seperti Karlheinz
Stockhausen († 2007) dan antipodenya yang mempertahankan tradisi, komponis
opera Hans Werner Henze. Dewasa ini musik kontemporer memadukan beberapa gaya:
Heiner Goebbels menghubungkan musik dengan teater, Helmut Lachenmann menelusuri
kemungkinan ekspresi instrumen sampai ke batas ekstrem. Wolfgang Rihm
menunjukkan kemungkinan perkembangan ke arah musik yang lebih mudah dipahami.
Di sisi lain spektrum musik ada penyanyi pop Herbert Grönemeyer
yang tahu semangat zaman dan suasana hati peng gemarnya. Sejak bertahun-tahun
diraihnya sukses dengan lagu-lagu berbahasa Jerman. Grup musik punkrock “Die
Toten Hosen”, formasi heavy metal “Rammstein” dan grup remaja “Tokio Hotel”
juga tergolong kategori superstar Jerman. Selama beberapa tahun terakhir ini,
seniman seperti penyanyi Xavier Naidoo (“Söhne Mannheims”) berhasil dengan
mengacu pada gaya soul dan rap Amerika Serikat. Khususnya sebagai pembawa jenis
musik ini ditemukan banyak pemusik muda yang berasal dari keluarga migran dan
yang berhasil menjadi bintang, di antaranya Laith Al-Deen, Bushido, Cassandra
Steen dan Adel Tawil. Sukses grup musik “Wir sind Helden” dari Berlin
akhir-akhir ini menimbulkan gelombang pendirian grup musik Jerman muda.
Pendirian “Akademi Pop” di Mannheim memperlihatkan kemauan politik untuk
meningkatkan daya saing musik pop Jerman.
Dalam hal klub musik pun Jerman dapat membang gakan banyak lokasi
tenar, terutama di kota besar seperti Berlin, Köln, Frankfurt am Main,
Stuttgart dan Mannheim. De ngan adanya tren disko pada tahun 1970-an,
rap/hiphop tahun 1980-an dan gaya techno tahun 1990-an, para DJ beremansipasi menjadi
seniman nada dan produsen. Melalui teknik scratching, sampling, remix dan
pemakaian komputer, piringan hitam berubah menjadi bahan baku untuk metamusik
yang dapat diubah sesuka hati. Dua mahabintang klub musik pun datang dari
Jerman, yaitu Sven Väth yang dijuluki “Godfather of Techno” dan Paul van Dyk.
D. PERFILMAN

Menjelang pergantian milenium muncul karya ceria yang
membangkitkan dunia perfilman Jerman: “Lola rennt” (Lola Berlari, 1998) karya
Tom Tykwer. Film komedi eksperimental mengenai Lola, si gadis berambut merah,
mengenai nasib, cinta dan hal- hal kebetulan mencerminkan perasaan hidup di
akhir tahun sembilan puluhan. Perjuangan Lola yang nekad berlari melin tasi
Berlin dengan melawan waktu diartikan di seluruh dunia sebagai kiasan ketergesaan
zaman kita. Dengan “Lola rennt”, sutradara Tom Tykwer mendobrak pintu ke dunia
perfilman internasional. Fase kemajuan untuk film Jerman dimulai. Untuk pertama
kali sejak era apa yang disebut “film pencipta” dan masa berkaryanya tokoh
Rainer Werner Fassbinder († 1982), pengamat di luar negeri kembali
memperhatikan film Jerman yang meraih sukses internasional. Pada tahun 2002,
Caroline Link menerima Hadiah Oscar untuk “Nirgendwo in Afrika”, trofi yang
sama diraih 2007 oleh Florian Henckel von Donnersmarck untuk film perdananya
“Das Leben der Anderen”. Festival Film
Cannes pada tahun yang sama memberikan hadiah untuk skenario terbaik serta
hadiah istimewa kepada Fatih Akin untuk film “Auf der anderen Seite”.
Pada awal milenium baru, sineas Jerman meraih sukses yang tak tersangka
dengan film jenis komedi – seperti “Die fetten Jahre sind vorbei” (2004) karya
Hans Weingartner. Sebaliknya, perhatian menjelang akhir dasawarsa pertama
difokuskan pada film yang berbobot. Namun tema-tema tidak berubah. Film jenis
tragikomedi “Good Bye, Lenin!” (2003) diputar dengan sukses di 70 negara lebih,
sebab diperlihatkannya juga kegagalan sosialisme. Film karya Donnersmarck “Das
Leben der Anderen” (2007) bertemakan kehidupan warga Jerman Timur di bekas RDJ
di bawah pengawasan dinas rahasia Stasi.
Dengan nada berat yang mencekamkan, Fatih Akin, warga Hamburg
bernenek moyang Turki, menggambarkan kehidupan di Jerman. Dalam drama “Gegen
die Wand” (2004) yang antara lain meraih hadiah Goldener Bär pada Festival Film
Berlin, Akin memaparkan kisah cinta dua insan Jerman-Turki dan
keterombang-ambingan mereka antara dua kebudayaan. Presisi cerita film itu
berkesan menyakitkan, tetapi tidak ce ngeng. Pada tahun 2007, dalam drama “Auf
der anderen Seite” (Di Seberang), digambarkannya kisah enam orang di Jerman dan
di Turki yang nasibnya saling bertautan. Juri Hadiah Film Jerman memberi
empat penghargaan sekaligus untuk karya itu. Dengan “Soul Kitchen” (2009), Akin
mengungkapkan apresiasinya untuk kota Hamburg, kali ini dalam bentuk komedi.
Film-film Jerman berhasil, karena ceritanya yang bersifat nasional
dan penggarapan sinematografis dari cerita itu mem bahas tema universal. Namun
materi yang diolah oleh para pembuat film, mereka angkat dari perkembangan dan
perubahan di negara sendiri dan di jalan hidup masing-masing.
E. SENI RUPA

Sejak tahun 1990-an, seni lukis dan fotografi dari Jerman meraih
sukses besar di dunia internasional. Apa yang disebut “keajaiban lukisan baru
Jerman” dikenal di luar negeri sebagai “Young German Artists”. Para seniman
berasal dari Leipzig, Berlin atau Dresden. Neo Rauch adalah wakil paling tenar
dari “Mazhab Leipzig Baru”. Gaya mazhab tersebut ditandai oleh realisme baru
yang berkembang – bebas ideologi – dari “Mazhab Leipzig” lama, yang termasuk
lingkup seni rupa bekas RDJ. Lukisannya sering memperlihatkan orang-orang pucat
yang seolah-olah menunggu sesuatu yang tak tentu. Motif itu dapat ditafsirkan
sebagai pantulan keadaan di Jerman pada awal milenium baru. Apa yang disebut
“Dresden Pop”, di antaranya Thomas Scheibitz, memetik unsur dari iklan dan dari
estetika video dan televisi sambil bermain dengan estetika swakaji mengenai
sini dan kini. Kebanyakan seniman generasi menengah menganggap pembahasan
kritis mengenai nasionalsosialisme, seperti yang ditemukan dalam kar ya Hans
Haacke, Anselm Kiefer dan Joseph Beuys, sebagai urusan masa lampau. Sebaliknya
yang tampak di kalang an perupa ialah “kebatinan baru” serta penggarapan
bidang-bidang pengalaman yang saling berbenturan: Karya-karya Jonathan Meese
dan André Butzer mencerminkan depresi dan fenomena-fenomena obsesi; kedua
perupa itu dianggap sebagai wakil “realisme neurotik”. Dengan karyanya “Mental
Maps”, Franz Ackermann menggambarkan dunia sebagai desa global dan
memperlihatkan musibah yang berlangsung di balik layar. Tino Sehgal menghasil
kan karya seni yang eksistensinya terbatas pada waktu “performance”-nya dan
yang tidak boleh direkam; ia mencari bentuk produksi dan bentuk komunikasi di
luar batas ekonomi pasaran.
Besarnya perhatian kepada seni rupa di Jerman tercermin pula dalam
pamerandocumenta yang
diseleng garakan lima tahun sekali di Kassel sebagai pameran seni rupa aktual
yang terkemuka di dunia; documenta 13 akan
dibuka pada tanggal 9 Juni 2012. Berbeda dengan seni rupa – yang arti
pentingnya digarisbawahi oleh pendirian sejumlah museum swasta baru – seni
fotografi harus berjuang lama sampai diakui sebagai bentuk seni yang mandiri.
Sebagai pelopor pada tahun 1970-an dikenal Katharina Sieverding dengan
rangkaian potret dirinya yang menelusuri batas antara individu dan masyarakat.
Terobosan terjadi pada tahun 1990-an dengan sukses yang diraih tiga murid dari
Bernd dan Hilla Becher, pasangan suami istri fotografer: Dalam karya foto
mereka, Thomas Struth, Andreas Gursky dan Thomas Ruff menimbulkan realitas
mengilap yang me nyembunyikan sesuatu. Pengaruh kelompok ini terhadap corak
fotografi internasional begitu besar sehingga mereka dinamakan “Struffsky”
saja.
(Sumber http://inezjohn.blogspot.com/2011/04/kebudayaan-negara-jerman.html)